Jumat, 31 Desember 2010

KOLOM BUDAYA


oleh: Abdul Malik

Upaya mengungkapkan asal-muasal bahasa nasional Indonesia sangat mustahak. Pasal apa? Pertama, supaya jelas hubungan bahasa nasional dengan bahasa yang pernah digunakan oleh bangsa kita sejak zaman-berzaman. Bukankah bahasa yang sejak 2 Mei 1926 kita sebut bahasa Indonesia itu bukanlah bahasa yang sama sekali baru atau bukan bahasa ciptaan baru? Soal kemudian ia mendapat pengaruh dari pelbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing, itu gejala alamiah yang dialami oleh semua bahasa di dunia ini, bahasa-bahasa kuno pun demikian jangankan bahasa-bahasa modern. Andai bahasa Melayu tak menjadi bahasa nasional pun, kita yakin, kreativitasnya untuk memanfaatkan unsur luar pasti terjadi sesuai dengan kenyataan perkembangannya selama berabad-abad.
Kedua, supaya terpelihara kelurusan sejarah dan kejujuran ilmiah dalam menyikapi asal-muasal bahasa nasional ini. Jangan hanya karena sekarang kawasan yang menyumbangkan bahasa nasional itu “dianggap” tak lagi penting dalam perkembangan tamadun nasional, lalu peran historisnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanya dipandang dengan sebelah mata. Jika kenyataan itu yang muncul, telah terjadi kecelakaan sejarah di lingkungan kebangsaan kita yang pasti akan berdampak pada tamadun atau peradaban yang sedang dan akan kita kembangkan.
Dalam perjalanan waktu yang hanya 84 tahun itu, data historis tentang asal-muasal bahasa nasional itu masih mudah diperoleh. Lagi pula, datanya masih banyak tersedia asal kita rajin mengumpulkannya. Bahkan, data tersebut—walau tak terlalu lengkap—terdapat juga di dalam buku pelajaran sekolah. Walaupun begitu, entah karena pertimbangan politis atau apa, tak banyak orang yang bersedia mengungkapkan perihal asal-muasal bahasa Indonesia, bahkan para pakar bahasa pun banyak yang memilih “zona aman”, diam, kalau tak membuatnya kabur atau bersilang pendapat. Dalam hal ini, pendapat yang didasari fakta ilmiahlah yang seyogianya diutamakan. Itulah ciri keutamaan yang harus dipegang teguh oleh setiap ilmuwan.
Setelah mempelajari perjalanan panjang bahasa Melayu selama 4.000 tahun dengan puncak pertamanya pada zaman Kerajaan Sriwijaya (633—1397) hingga yang terakhir Kerajaan Riau-Lingga (1824—1913) sebelum berubah nama menjadi bahasa Indonesia, dapatlah dihimpun sekurang-kurangnya sepuluh bukti asal-muasalnya.

Bukti 1
Pada 1849 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi orang Jawa. Berkaitan dengan itu muncullah masalah bahasa pengantar yang harus digunakan. Dalam menyikapi persoalan itu terjadilah perselisihan pendapat. Namun, Gubernur Jenderal Rochussen dengan tegas berpandangan bahwa pengajaran itu harus diantarkan dengan bahasa Melayu karena sudah menjadi alat  komunikasi di seluruh Kepulauan Hindia (Indonesia). Penegasan itu dilakukannya setelah menyadari keadaan bahwa bahasa Melayu pun telah menyebar luas di kalangan masyarakat Jawa yang digunakan sebagai bahasa kedua.
Kala itu Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji telah dikenal di seluruh nusantara dan mengalami cetak ulang berkali-kali di Singapura. Versi ilmiahnya lengkap dengan terjemahan bahasa Belandanya dan diberi pendahuluan oleh P.P. Roorda van Eysinga dimuat di majalah Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847). Begitu berpengaruhnya syair karya Raja Ali Haji itu sehingga menjadi bahan cerita teater rakyat yang juga diberi nama Dul Muluk di Palembang, tempat yang dulunya menjadi pusat penyebaran bahasa Melayu Kuno, dan Bangka-Belitung.
Tak ada jalan lain bagi pemerintah kolonial Belanda. Bahasa Melayu Riau-Lingga harus dijadikan bahasa pengantar di lembaga pendidikan yang mereka dirikan untuk orang pribumi, termasuk di Pulau Jawa.

Bukti 2
Pada 1855 Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Von de Wall menjadi pegawai bahasa. Beliau adalah pegawai Belanda kelahiran Jerman, yang sebelumnya berkhidmat sebagai tentara. Beliau ditugasi untuk menyusun buku tata bahasa Melayu, kamus Melayu-Belanda, dan kamus Belanda-Melayu. Penyusunan kamus bahasa Melayu-Belanda merupakan pekerjaan yang sangat penting kala itu karena Pemerintah Hindia-Belanda memerlukan ejaan dan kosakata baku untuk pendidikan di Kepulauan Hindia-Belanda. Berhubung dengan tugas itu, Von de Wall diutus ke Kerajaan Riau-Lingga pada 1857.
Untuk menyelesaikan tugasnya itu, beliau bekerja sama dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim serta mengangkat Abdullah (anak Haji Ibrahim) menjadi juru tulisnya. Beliau menetap di Tanjungpinang sampai 1860. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 14 Februari 1862, beliau kembali lagi ke Kerajaan Riau-Lingga.  Sejak itu beliau terus berulang-alik Batavia-Riau Lingga sampai 1873 untuk menyelesaikan tugasnya dan mendalami bahasa Melayu (lihat Van der Putten dan Al Azhar, 2006:4—11).
Dalam masa tugasnya itu Von de Wall sempat menyunting buku karya Haji Ibrahim: Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor. Jilid pertama buku itu  diterbitkan di Batavia pada 1868 dan pada 1872 terbit pula jilid keduanya.
Pada masa Von de Wall bertugas itu beberapa karya Raja Ali Haji (RAH) sudah dikenal luas. Syair Abdul Muluk yang dicetak di Singapura mengalami beberapa kali cetak ulang. Syair itu diterbitkan dalam versi ilmiah lengkap dengan terjemahan bahasa Belandanya dan diberi pendahuluan oleh P.P. Roorda van Eysinga di Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847). Dua karya RAH yang lain juga dimuat di dalam majalah berbahasa Belanda yaitu sebuah syair tanpa judul dimuat di majalah Warnasarie dan Gurindam Dua Belas yang diterbitkan oleh Netscher dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap. Syair RAH yang dimuat dalam Warnasarie merupakan satu-satunya syair berbahasa Melayu di dalam majalah yang bertujuan untuk menerbitkan sajak Belanda di tanah jajahan (Van der Putten dan Al Azhar, 2006:17—18).
Karena bermitra dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim, tentulah karya-karya penulis ternama Kerajaan Riau-Lingga itu berpengaruh pada pekerjaan Von de Wall. Selain karya Haji Ibrahim yang telah disebutkan di atas yang bahkan Von de Wall menjadi penyuntingnya, tentulah karya linguistik Raja Ali Haji Bustan al-Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) juga menjadi rujukan Von de Wall. Pasal, semasa beliau bertugas di Tanjungpinang dan Penyengat, buku Raja Ali Haji itu telah dicetak. Selain itu, penjelasan lisan kedua orang pendeta bahasa Melayu itu jelas menjadi acuan utama Von de Wall karena memang kedua sahabatnya itulah yang menjadi informan utama pegawai bahasa Pemerintah Hindia-Belanda itu.
Pada Mei 1864 datang seorang pakar bahasa lagi ke Kerajaan Riau-Lingga. H.C. Klinkert, nama pakar itu, dikirim oleh Majelis Injil Belanda untuk mempelajari bahasa Melayu yang murni. Tujuannya adalah untuk memperbaiki terjemahan Injil dalam bahasa Melayu. Beliau tinggal di Tanjungpinang lebih kurang dua setengah tahun (lihat Van der Putten dan Al Azhar, 2006:9). 

Bukti 3.
Semua orang asing, baik orang Eropa maupun orang Timur, hampir hanya menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan antara mereka dan dalam pergaulan dengan penduduk seluruh Kepulauan Hindia Timur.


Bukti 4.
Berbagai suku bangsa di antara penduduk kepulauan itu menggunakannya sebagai bahasa pergaulan antara mereka.

Bukti 5.
Kalangan raja pribumi memakai bahasa Melayu dalam urusan surat-menyuratnya dengan pemerintah (maksudnya Pemerintah Hindia-Belanda, A.M.) dan antara sesamanya.

Bukti 6.
Semua surat-menyurat antara pegawai negeri Eropa dan pribumi pun dilangsungkan dalam bahasa itu.

Bukti 7.
Penyebaran bahasa Melayu telah terjadi selama berabad-abad sehingga dapat disebut bahasa internasional, yang terutama dipakai di dalam bidang diplomasi oleh raja yang memelihara hubungan dengan raja lain.

Bukti 8.
Bahasa Melayu itu menonjol karena sederhana susunannya dan sedap bunyinya, tak ada bunyinya yang sulit diucapkan oleh orang asing.

Bukti 9.
Bahasa Melayu dapat menjalankan peranannya sebagai bahasa internasional karena syarat kemantapannya telah dipenuhi dengan baik, yang menjadi salah satu cirinya yang terpenting.
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa bahasa Melayu, seperti halnya bahasa Belanda, memiliki banyak logat. Di antara aneka logat, yang diutamakan oleh orang Melayu ialah logat yang dituturkan di Johor, di sebagian Semenanjung Melayu, dan di Kepulauan Riau-Lingga (khususnya di Pulau Penyengat, tempat Raja Muda Riau dulu bersemanyam dan di Daik di Pulau Lingga yang sampai baru-baru ini menjadi tempat kedudukan Sultan Lingga).
Bahasa Melayu Riau-Lingga itu dijadikan rujukan karena dua sebab. Pertama, sebagian besar kepustakaan tertulis ada dalam bahasa itu. Kedua, di istana-istana Melayu sebanyak mungkin masih digunakan bahasa itu, baik dalam pergaulan maupun dalam surat-menyurat oleh golongan berpendidikan. Di daerah tersebut, pengaruh yang dialaminya dari bahasa-bahasa lain paling kecil; di sanalah watak khasnya paling terpelihara. Untuk mereka yang ingin menelaah bahasa nusantara yang lain, pengetahuan tentang bahasa Melayu Riau-Lingga atau Riau-Johor ini merupakan bantuan besar.

Bukti 10
Pada Sabtu, 29 April 2000 Presiden Republik Indonesia, Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatera, di Masjid Agung Annur, Pekanbaru. Dalam pidatonya beliau menegaskan pengakuan Pemerintah Republik Indonesia akan jasa pahlawan Raja Ali Haji dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional. “Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini,” tegas beliau.
Dengan itu, sebetulnya bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai asal-muasal bahasa Indonesia telah diakui secara resmi atau telah diiktiraf oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal, Kepulauan Riaulah tempat Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa, Raja Ali Haji, dilahirkan, berkarya, dan wafat serta dalam bahasa Melayu Kepulauan Riau pulalah beliau berkarya untuk bangsa dan negaranya.
Simpulan
Bahasa Melayu sejak abad ke-7 telah menjadi bahasa yang terpenting di nusantara. Dari masa kegemilanngan Sriwijaya, yang mengembangkan tamadun Melayu-Budha, hingga masa-masa kecemerlangan Imperium Melayu Melaka, Johor-Riau atau Riau-Johor, dan Riau-Lingga, yang mengembangkan tamadun Melayu-Islam, bahasa Melayu telah memainkan perannya yang sangat penting dalam bidang perdagangan, pemerintahan, agama, ilmu dan pengetahun, dan sosial-budaya umumnya. Itulah sebabnya, bahasa Melayu menjadi lingua franca, yang pada gilirannya menjadi bahasa internasional kala itu.
Pembinaan yang intensif yang dilakukan oleh Raja Ali Haji dkk. di Kerajaan Riau-Lingga sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 memungkinkan bahasa Melayu Kerajaan Riau-Lingga terpelihara sebagai bahasa baku, yang biasa disebut bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itulah, pada Kongres I Pemuda Indonesia, 2 Mei 1926 diberi nama baru dan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dikukuhkan sebagai bahasa Indonesia.
Dengan demikian, bahasa Melayu yang berasal dari Kepulauan Riaulah (tempat kedudukan Sultan Riau-Lingga, Daik, dan tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda, Penyengat Inderasakti) yang dijadikan bahasa Indonesia, yang dalam alam Indonesia merdeka berkedudukan sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara.
Pemilihan itu sesuai dengan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda sebelumnya yang menilai bahwa bahasa Melayu Kepulauan Riau paling  murni lafalnya serta paling baik tata bahasa dan ejaannya sehingga diwajibkan menjadi bahasa pengantar pendidikan pribumi di seluruh kawasan pemerintahan Hindia-Belanda. Kebijakan itu didasari oleh kenyataan bahwa kalau tak menjadi bahasa pertama, bahasa Melayu Kepulauan Riau (bahasa sekolah) menjadi bahasa kedua sebagian besar penduduk nusantara. Oleh sebab itu, ketika diusulkan oleh Ki Hajar Dewantara, Muh. Yamin, dan M. Tabrani (dengan perubahan nama), para pendiri bangsa ini—apa pun latar belakang suku, budaya, dan bahasa ibunya—dengan suara bulat menerimanya.
Rekomendasi
Sesuai dengan perian sebelum ini, berikut dikemukakan tiga butir rekomendasi untuk melanjutkan tradisi intelektual yang menjadi ciri utama tamadun Melayu di kawasan ini. Pertama, Kepulauan Riau seyogyanya memiliki Institusi Pengajian Bahasa dan Tamadun Melayu untuk meneruskan upaya yang telah dirintis oleh Raja Ali Haji dkk. Hanya dengan itu tradisi intelektual  yang menjadi ciri khas tamadun Melayu zaman-berzaman akan terpelihara dan dapat terus berlanjut di sini.
Kedua, di ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, atau di Pulau Penyengat sebaiknya dibangun Prasasti Bahasa. Keberadaan prasasti itu mustahak untuk mengekalkan memori anak bangsa tentang perjuangan para pendahulu kita dalam memperjuangkan kebudayaan bangsa, yang menjadi jati diri kita, dan melahirkan bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia.
Ketiga, untuk memelihara khazanah kebudayaan kita, sebaiknya juga segera digesa pembangunan Museum Kebudayaan Kepulauan Riau yang representatif di ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar